Bangka, MuaraIndonesia.com – Oleh: Dr Ibrahim, S.Fil, M.Si (Dosen Universitas Bangka Belitung)
Pada dasarnya jika kita amati ada 4 pola dinamika eksploitasi timah di suatu wilayah, yaitu ditolak secara keras, ditolak namun masyarakat masih terbelah, diterima namun masyarakat masih terbelah, dan diterima secara terbuka karena kompensasi dianggap memadai.
Dinamika ini terjadi karena disparitas kebutuhan suatu masyarakat relatif berbeda, cara bernegosiasinya yang kurang baik, dan karena adanya pengelompokkan kepentingan yang tajam.
Butuh Kearifan
Benturan terjadi ketika dialog tidak menemukan jalan tengah dengan dua posisi dilematis, ada konsesi ijin penambangan yang dimiliki perusahaan, dan ada masyarakat lokal yang memiliki kedaulatan sosial-teritorial atas wilayah tersebut. Kepentingan ekonomi menjadi agenda bersama yang sulit bertemu diantara keduanya.
Tapi kira-kira begini, ada pihak yang harus menahan diri dan ada pihak yang harus mengulur rentang kebijakan menjadi lebih proporsional.
Saya berandai-andai bahwa perusahaan, apalagi plat merah, tetap benefit menjadi kata kunci, tapi ada tantangan lain yang harus dijawab yakni bagaimana tetap memperhatikan kepentingan masyarakat lokal sebagai pertimbangan utama. Menurut saya, PT Timah harus memainkan peran tengah antara negara c.q. perusahaan dengan masyarakat.
Sesungguhnya manapun yang didahulukan, keduanya sama-sama melayani negara. Perusahaan dituntut untung karena hasilnya untuk membiaya kepentingan publik luas, namun mengakomodir keinginan masyarakat juga adalah bagian dari pelayanan publik. Karenanya ketika terjadi resistensi, PT. Timah memang sebaiknya mengambil peran akomodatif, sembari membangun dialog.